Tuesday, June 7, 2016

Praanggapan dalam pragmatik



PRAANGGAPAN

https://31.media.tumblr.com/tumblr_o588ftEI811vnm7bi_frame1.jpg

Hakikat Praanggapan
Praanggapan erat kaitannya dengan implikatur dan juga perikutan atau entailmen. Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Sejalan dengan batasan tentang implikasi pragmatis, implikatur percakapan itu adalah proposisi atau “pernyataan” implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu percakapan (Rustono 1999:82).
Di dalam batasan tentang pragmatik yang dikemukakan Levinson (1983:9 dalam Rustono 1999:82) istilah praanggapan (presupposition) dan perikutan (entailment) juga biasa dibahas dalam kajian pragmatik. Konsep tentang perikutan ini berdekatan dengan konsep tentang praanggapan dan implikatur. Tiga konsep (implikatur, praanggapan, dan perikutan) yang berdekatan itu memiliki perbedaan-perbedaan. Jika implikatur percakapan merupakan proposisi atau „pernyataan implikatif‟ dari suatu tuturan yang melanggar prinsip percakapan di dalam suatu peristiwa tutur dan konsep itu dikemukakan dengan maksud menerangkan apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur di dalam suatu percakapan; praanggapan atau presuposisi adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan (Stalnaker 1978:321 dalam Rustono 1999:105). Yang dimaksud dengan dasar bersama itu adalah bahwa sebuah praanggapan hendaknya dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur sebagai pelaku percakapan di dalam bertindak tutur.
Prinsip dasar bersama ini dalam konsep praanggapan itu batas-batasnya
ditentukan bersama berdasarkan anggapan-anggapan pembicara mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa tantangan (Givon 1979 a:50 dalam Rustono 1999:105). Praanggapan berupa andaian penutur bahwa mitra tutur dapat mengenai pasti orang atau benda yang diperkatakan (dalam Rustono 1999:105). Pendapat itu tidaklah bertentangan dengan pendapat Stalnaker di atas. Pendapat-pendapat itu mengakui adanya kesamaan pemahaman antara penutur dan mitra tuturnya tentang suatu hal yang menjadi pangkal tolak komunikasi. Petutur memahami atau mengenal sesuatu yang dikomunikasi penutur. Dan dengan itu, komunikasi antarpeserta tutur dapat berjalan tanpa hambatan.
Sebuah tuturan dapat mempraanggapkan tuturan yang lain. Sebuah tuturan dikatakan mempraanggapkan tuturan yang lain jika ketidakbenaran tuturan kedua atau yang dipraanggapkan mengakibatkan tuturan yang pertama atau yang mempraanggapkan tidak dapat dikatakan benar atau salah (dalam Rustono 1999:106). Misalnya pada contoh tuturan berikut.
Adik membaca Suara Merdeka

Praanggapan yang terdapat dalam tuturan di atas bahwa ada surat kabar Suara Merdeka. Penalaran yang diajukan berkenaan dengan pendapat itu adalah bahwa jika memang ada surat kabar Suara Merdeka, tuturam tersebut dapat dinilai benar salahnya. Sebaliknya jika tidak surat kabar Suara Merdeka. tuturan tersebut tidak dapat dinilai benar salahnya. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa memang ada surat kabar Suara Merdeka. Dengan demikian, tuturan tersebut merupakan tuturan yang benar.
Nababan (dalam Mulyana 2005:14) menyatakan istilah presuposisi adalah tuturan dari bahasa Inggris Presupposition, yang berarti “Perkiraan, prasangka“. Konsep ini muncul bermula dari perdebatan panjang tentang “Hakikat Rujukan“ (yaitu apa-apa, sesuatu, benda, keadaan, dan sebagainya) yang ditunjuk oleh kata, frasa, kalimat, atau ungkapan lainnya. Menurut Gottlob Frege (dalam Mulyana 2005:14) semua pernyataan memiliki praanggapan, yaitu rujukan atau referensi dasar. Rujukan inilah yang menyebabkan suatu ungkapan wacana dapat diterima atau dimengerti oleh pasangan bicara, yang pada gilirannya komunikasi tersebut akan dapat berlangsung dengan lancar. “Rujukan“ inilah yang dimaksud sebagai “praanggapan“, yaitu anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pendengar atau pembaca. Praanggapan membantu pembicara menentukan bentukbentuk bahasa (kalimat) untuk mengungkapkan makna atau pesan yang ingin dimaksudkan. Jadi, semua pernyataan atau ungkapan kalimat, baik yang bersifat positif maupun negatif, tetap mengandung anggapan dasar sebagai isi dan substansi dari kalimat tersebut.
Givon (dalam Brown dan Yule 1996:29) berpendapat pengertian praanggapan yang diperlukan dalam analisis wacana adalah praanggapan pragmatis, yaitu yang ditentukan batas-batasnya berdasarkan anggapan-anggapan pembicara mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa tantangan. Pendapat lain, menurut Stalnaker dalam Brown dan Yule (1996:29) praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan.
Dari beberapa batasan pengertian presuposisi di atas. Peneliti dapat menyimpulkan batasan pengertian presuposisi. Presuposisi adalah anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang ditentukan batas-batasnya berdasarkan pengetahuan kita tentang dunia.

http://img.indonetwork.co.id/products/thumbs/600x600/2013/11/14/f52f927275866060d96c6f5eff17a3e4.jpg

Jenis-Jenis Praanggapan
Penelitian mengenai praanggapan tidak banyak ditemukan, terutama penelitian mengenai praanggapan di dalam bahasa iklan. Beberapa peneliti pragmatik seperti Cummings, Levinson, Nababan, Gadzar, Rustono, dan masih banyak peneliti yang lain tidak banyak menyinggung mengenai penggolongan praanggapan. Selain itu, penelitian mengenai praanggapan juga jarang membahas mengenai jenis-jenis praanggapan. Yule merupakan satu-satunya yang menggolongkan praanggapan menjadi 6 jenis.
Yule (2006:46) mengungkapkan dalam analisis tentang bagaimana asumsi-asumsi penutur diungkapkan secara khusus, Presuposisi sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur. Yule menganggap bentuk-bentuk linguistik ini sebagai petunjuk-petunjuk presuposisi potensial, yang hanya akan menjadi presuposisi yang sebenarnya dalam konteks dengan penutur.
Presuposisi potensial (potential presupposition) adalah suatu asumsi yangvsecara khusus dikaitkan dengan penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan, misalnya penggunaan kata „menyesal‟ dalam kalimat „Dia menyesal telah melakukan itu‟ yang mengandung asumsi bahwa dia sebenarnya „melakukan itu‟. Presuposisi potensial terbagi menjadi enam tipe, yaitu: (1) presuposisi eksistensial, (2) presuposisi faktual, (3) presuposisi non-faktual, (4) presuposisi leksikal, (5) presuposisi struktural, dan (6) presuposisi konterfaktual.

Praanggapan Eksistensial
Istilah eksistensial berasal dari akar kata ex-sistere, yang secara literal berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah ini hendak dikatakan oleh para eksistensialis bahwa eksistensi manusia seharusnya dipahami bukan sebagaikumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai sesuatu yang “mengada”. Yule (2006:46) menyebutkan presuposisi eksistensial (existential presupposition) merupakan presupposisi yang ada tidak hanya diasumsikan terdapat dalam susunan possesif, tetapi juga lebih umum atau lebih luas lagi ke dalam frasa nomina tertentu. Praanggapan ini menunjukkan kepemilikan, tetapi lebih luas lagi keberadaan atau eksistensi dari pernyataan dalam tuturan tersebut.
Praanggapan eksistensial menunjukkan bagaimana keberadaan atas suatu hal
dapat disampaikan lewat praanggapan. Misalnya pada contoh tuturam berikut.
Ayah saya memiliki mobil sedan keluaran terbaru.
Praanggapan dalam tuturan tersebut menyatakan kepemilikan, yaitu Ayah saya memiliki mobil. Apabila ayah saya memang benar memiliki mobil sedan keluaran terbaru, maka tuturan tersebut dapat dinyatakan keberadaannya.

Praanggapan Faktual
Yule (2006:46) menyebutkan presuposisi faktual dengan presuposisi faktif. Menurut Yule, presuposisi faktif adalah informasi yang dipraanggapkan yang mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai kenyataan. Mengingat tuturan tersebut belum tentu kata kerja, bisa juga menggunakan kata sifat. Menurut Kridalaksana (1993:54), faktif berarti verba yang mempunyai
komplemen kalimat dan yang menyimpulkan kebenaran komplemen itu. Presuposisi faktual (factive presupposition) muncul dari informasi yang ingin disampaikan dinyatakan dengan kata-kata yang menunjukkan suatu fakta atau berita yang diyakini kebenarannya. Kata-kata yang bisa menyatakan fakta dalam tuturan adalah kata sifat yang dapat memberikan makna pasti dalam tuturan tersebut. Misalnya pada contoh tuturam berikut.
Tina tidak menyadari bahwa dirinya sakit demam.
Dalam tuturan di atas, praanggapannya adalah Tina sedang sakit. Pernyataan itu menjadi faktual karena telah disebutkan dalam tuturan. Penggunaan kata “sakit” dari tuturan “Tina tidak menyadari bahwa dirinya sakit demam” merupakan „kata sifat‟ yang dapat diyakini kebenarannya.

Praanggapan Nonfaktual
Non berarti sesuatu yang bersifat negatif atau bertentangan. Nonfaktual berarti tidak faktual. Berarti nonfaktual ialah sesuatu yang tidak sesuai kenyataan, atau sesuatu yang tidak mengandung kebenaran. Presuposisi nonfaktual (non-factive presupposition) menurut Yule
(2006:50) merupakan suatu pressuposisi yang diasumsikan tidak benar. Praanggapan ini masih memungkinkan adanya pemahaman yang salah karena penggunaan kata-kata yang tidak pasti dan masih ambigu. Misalnya pada contoh tuturam berikut.
Dia bermimpi bahwa dirinya menang kuis.
Praanggapan yang muncul dari tuturan tersebut adalah dia tidak menang kuis. Penggunaan tuturan “Dia bermimpi bahwa dirinya menang kuis” bisa memunculkan praanggapan nonfaktual, karena kalimat tersebut memunculkan praanggapan mengenai keadaan yang tidak sesuai dengan kenyataannya yaitu memenangkan kuis. Tuturan tersebut jika dibuat kalimat lain bisa menjadi “andai saja dia menang kuis” dan kata “andai” merupakan bentuk dari pressupusisi nonfaktual. Selain itu, praanggapan nonfaktual bisa diasumsikan melalui tuturan yang kebenarannya masih diragukan dengan fakta yang disampaikan.

Praanggapan Leksikal
Makna leksikal merupakan makna dasar sebuah kata yang sesuai dengan kamus. Makna dasar ini melekat pada kata dasar sebuah kata. Yule (2006:47) menjelaskan, pada umumnya di dalam presuposisi leksikal (lexical presupposition), pemakaian suatu bentuk dengan makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan pressuposisi bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami. Praanggapan ini merupakan praanggapan yang didapat melalui tuturan yang diinterpretasikan melalui penegasan dalam tuturan.
Bedanya dengan presuposisi faktual, tuturan yang merupakan presuposisi leksikal
dinyatakan dengan cara tersirat sehingga penegasan atas praanggapan tuturan tersebut bisa didapat setelah pernyataan dari tuturan tersebut. Misalnya pada contoh tuturam berikut.
Andi berhenti kerja.
Praanggapan dari tuturan di atas adalah dulu Andi pernah bekerja. Praanggapan tersebut muncul dengan adanya penggunaan kata “berhenti” dari tuturan “Andi berhenti kerja” yang menyatakan bahwa dulu Andi pernah bekerja, namun sekarang sudah tidak lagi.

Praanggapan Struktural
Presuposisi struktural (struktural presupposition) merupakan struktur kalimat-kalimat tertentu yang telah dianalisis sebagai pressuposisi secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya (Yule, 2006:49). Praanggapan struktural merupakan praanggapan yang dinyatakan melalui tuturan yang strukturnya jelas dan langsung dipahami tanpa melihat katakata yang digunakan.
Dalam bahasa Inggris, penggunaan struktur terlihat dalam „wh-questions‟ yang langsung dapat diketahui maknanya, sedangkan dalam bahasa Indonesia kalimat-kalimat tanya juga dapat ditandai melalui penggunaan kata tanya dalam tuturan. kata tanya seperti apa, siapa, dimana, mengapa, dan bagaimana menunjukkan praanggapan yang muncul dari tuturan tersebut. Misalnya pada contoh tuturam berikut.
Silakan mencoba produk kecantikan tersebut!
Tuturan di atas menunjukkan praanggapan, yaitu ada produk kecantikan. Praanggapan yang menyatakan „produk kecantikan‟ sebagai obyek yang dibicarakan dapat dipahami oleh penutur melalui struktur kalimat bertanda seru (di akhir tuturan) yang menyatakan „ajakan‟. Selain itu terdapat makna „mengapa‟ dalam tuturan “Silakan mencoba produk kecantikan tersebut” yang bisa saja mengandung makna bahwa jika mencoba produk kecantikan tersebut kulit akan menjadi cantik, putih, dan lain sebagainya.

Praanggapan Konterfaktual
Kata konter memiliki makna menantang atau melawan. Presuposisi konterfaktual (counterfactual presupposition) menurut Yule (2006:51) bahwa apa yang dipraanggapkan tidak hanya tidak benar, tapi kebalikan (lawannya) dari benar, atau „bertolak belakang dengan kenyataan‟. Praanggapan ini adalah praanggapan yang menghasilkan pemahaman yang berkebalikan dari pernyataannya atau kontradiktif. Misalnya pada contoh tuturam berikut.
Andaikan aku kaya, pasti akan membeli rumah yang besar.
Dari contoh tuturan di atas, dapat dilihat praanggapan yang muncul adalah sekarang saya miskin. Praanggapan tersebut muncul dari kontradiksi kalimat dengan adanya penggunaan tuturan “Andaikan aku kaya”. Penggunaan kata „andaikan‟ membuat praanggapan yang kontradiktif dari tuturan yang disampaikan.


DAFTAR PUSTAKA
Arono. 2012. “Praanggapan dan Implikatur Wacana Dialog dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia”. http://unib.ac.id/blog/dank_aron/2011/02/17/ (diunduh 27 Oktober 2014).

Asri, Ulfa Muthia.2010. “Analysis Of Presupposition As Found In „Harry Potter

And The Goblet Of Fire‟ Movie”. Tesis. Padang: Universitas Andalas.

Brown, Gilian and George Yule. 1996. Analisis Wacana (terj. Soetikno, I).
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djajasudarma, T Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian
dan Kajian. Bandung: Reitika Aditama.

Hersetiyanto, Yanris Tri. 2010. “Presuposisi (Praanggapan): Pengertian, Ciri, dan
Jenisnya”. http://id.shvoong.com/tags/praanggapan(diunduh 21 Desember 2014).

Indriani, Dian. 2012. “Pragmatic Presupposition on Television Commercial

Indrowaty, Sri Aju.2014. “Presupposition And Entailments Between English And

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press.

Nababan, P.W.J.. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta:
Depdikbud.

Poerwadarminta, W.J.S. 1985. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.

No comments:

Post a Comment